Headlines News :
Home » , , » Mengintip Sejarah dan Budaya Pulau Batu Berbunga

Mengintip Sejarah dan Budaya Pulau Batu Berbunga

Written By Unknown on Jumat, 29 Maret 2013 | 3/29/2013 11:02:00 AM

Kendari: Pulau Muna adalah sebuah pulau kecil yang terdapat di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Awalnya Pulau Muna dikenal dengan nama Wuna yang dalam bahasa setempat berarti Bunga.

Nama ini diambil dari sebuah tempat yang terdapat gugusan batu karang yang sewaktu-waktu mengeluarkan tunas-tunas baru yang tumbuh seperti bunga karang. Hal itulah yang mendasari masyarakat Muna menyebutnya sebagai Kontu Kowuna yang berarti batu berbunga.

Gugusan batu berbunga tersebut terletak di dekat masjid tua bernama Bahutara (bahtera). Menurut legenda masyarakat, tempat tersebut merupakan tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu dari Sulawesi Selatan.

Dalam hasil penelitian yang tercatat di Museum Karts Indonesia di Wonogiri, Jawa Tengah, dijelaskan bahwa hampir seluruh daerah di Pulau Muna tersusun oleh batu gamping berumur pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu).

Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dari dasar laut akibat desakan dari bawah dan membentuk tebing-tebing batu gamping (karts) yang sangat luas. Hal inilah yang secara ilmiah menjawab fenomena batu berbunga yang terjadi di Bahutara.

Ada dua alternatif perjalanan untuk mencapai Pulau Muna, yaitu menggunakan kapal laut atau pesawat perintis. Jika menggunakan kapal laut, perjalanan dimulai dari Pelabuhan Nusantara Kendari menuju Pelabuhan Raha di Kota Raha yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Muna dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Namun jika menggunakan pesawat perintis, perjalanan dimulai dari Bandara Walter Monginsidi Kendari menuju Bandara Sugimanuru yang terdapat di Kabupaten Muna, atau 25 km dari Kota Raha.

Berdasarkan latar belakang terbentuknya Pulau Muna yang dinyatakan secara ilmiah terbentuk sejak 1,8 juta tahun lalu, banyak gambaran peradaban prasejarah terekam di Muna.

Di Desa Liang Kabori banyak terdapat gua dan ceruk yang menjadi tempat tinggal manusia purba. Desa ini dapat di tempuh dengan perjalanan darat dengan perkiraan waktu sekitar 50 menit dari Kota Raha dengan menyusuri Jalan Poros Raha-Watoputeh sejauh 17 kilometer hingga sampai ke Desa Mabodo. Dari Mabodo ke Liang Kabori hanya berkisar lima kilometer.

Memasuki gerbang desa, masyarakat dengan spontan akan mengarahkan wisatawan menuju rumah La Hada, 70, yang merupakan pemandu sekaligus penjaga gua. Kedatangan Media Indonesia disambut La Hada dengan senyum ramah sambil mempersilakan kami duduk di teras rumahnya yang sangat sederhana. Tak lama ia pun menyodorkan buku lusuh berisi ratusan nama pengunjung yang pernah bertandang. Beberapa nama berkebangsaan asing tertoreh di buku tersebut.

Mengenakan kemeja putih bergaris-garis hitam, bertopi cokelat dan tas selempang warna-warni, La Hada menuntun kami meneruskan perjalanan sejauh tiga kilometer menyusuri jalan berbatu yang hanya dapat dilalui satu mobil. Rumah-rumah penduduk yang kami lintasi hanya berpagarkan batu kapur yang ditumpuk namun terlihat kokoh. Pemandangan bukit karts terhampar sepanjang perjalanan hingga sampai ke pintu masuk kompleks gua.

La Hada menuturkan, hanya sebagian dari puluhan gua di Desa Liang Kabori yang bisa diingatnya. Sepuluh gua dan ceruk yang terdapat lukisan dan 23 gua tanpa lukisan.

"Gua-gua tersebut adalah tempat tinggal para mereka," ujar La Hada. Sepuluh liang dan ceruk bergambar yaitu, Metanduno 310 lukisan, Liang Kabori 130 lukisan, Lakolambu 60 lukisan, Toko 58 lukisan, Wabose 48 lukisan, La Tanggara tujuh lukisan, Pamisa 300 lukisan, Lasaba 35 lukisan, Pinda 50 lukisan dan liang Sugi Patani tujuh lukisan. Sementara gua tanpa lukisan, diantaranya liang Kantinale, Kawe, Kantaweri, Palola, Watotoru dan masih banyak lagi.

Berdasarkan penelitian, gambar-gambar tersebut dibuat pada abad ke-12 dengah bahan campuran tanah liat dan getah pohon, terang La Hada.

Letak antara gua saling berdekatan, kecuali liang Sugi Patani. Nama liang dan ceruk berdasarkan lukisan dan bentuk gua. Metanduno disebut gua bagi kaum laki-laki karena berisi lukisan bertanduk, sementara Liang Kabori, disebut gua perempuan karena terdapat lukisan perempuan. Metanduno dan Kabori merupakan liang induk karena ukuranya yang luas.

Memasuki kompleks, gua yang pertama kali dijumpai adalah Liang Metanduno. Langit-langit gua berketinggian sekitar lima meter dengan lebar mencapai 10 meter. Lukisan-lukisan jejak peradaban prasejarah yang didominasi gambar hewan dan manusia menghiasi dinding dan langit-langit gua.

Salah satu lukisan menggambarkan sekawanan manusia yang sedang berburu di bawah kaki gunung dengan tiga buah matahari. Hal ini menyentil pertanyaan apakah benar mitos yang mengatakan bahwa dulu matahari berjumlah lebih dari satu.

Di langit-langit dekat mulut gua berwarna hitam legam yang diperkirakan bekas jelaga asap dari perapian yang digunakan manusia purba untuk membunuh dingin yang menyergap pada malam hari. Di dalam gua terdapat mata air yang ditampung pada sebuah batu mencekung yang hingga saat ini masih mengalir dan memenuhi batu yang berfungsi sebagai bak penampungan air .

Beranjak sekitar 20 meter dari Metanduno, terdapat gua lain bernama Liang Kabori. Suasananya hampir sama dengan Metanduno. Namun sayangnya tangan-tangan jahil pengunjung merusak keasrian situs purbakala tersebut dengan menuliskan nama mereka di batu-batu yang terdapat di dalam gua. Entah apa yang terlintas di benak picik mereka. Sepertinya mereka tak mau kalah dengan para penghuni gua yang membuktikan keberadaan mereka dengan menorehkan lukisan di dinding dan langit-lanit gua.

Dua kilometer dari Metanduno terdapat Liang Sugi Patani yang terletak diketinggian. Yang menarik adalah terdapat lukisan layang-layang di gua ini. Pulau Muna diyakini sebagai tempat lahirnya permainan layang-layang yang dibuat oleh salah seorang penguasa Muna bernama Sugi Patani sebelum terbentuknya kerajaan Muna 4000 tahun silam.

Hal ini mematahkan fakta yang mengatakan bahwa permainan layang-layang lahir pertama kali di China 2400 tahun lalu. Di akhir kunjungan La Hada menunjukkan sebuah buku yang ditulis penulis berkebangsaan asing bertajuk Muna, Island of The First Kiteman (Muna, Pulau Pembuat Layang-layang Pertama).

Masih di Kecamatan Lohia, tak jauh dari Desa Liang Kabori terdapat objek wisata Danau Napabale yang berair asin. Dalam bahasa setempat Napabale berarti pantai janur.

Asinya air danau ini dikarenakan sumber airnya mengalir langsung dari Teluk Muna yang dihubungkan melalui terowongan alam sepanjang 30 meter dan lebar 9 meter. Saat air surut, terowongan ini dapat dilalui oleh perahu, namun jika air sedang pasang, terowongan tertutup air.

Hari sudah gelap saat Media Indonesia tiba di Napabale. Kami-pun menggelar tenda dan berkemah di pinggir danau.

Sinar mentari menyeruak ke dalam tenda, suara ketinting (perahu bermesin) nelayan bersahutan menyambut pagi meninggalkan dermaga menembus terowongan menuju laut mencari ikan. Sungguh cantik pemandangan Napabale di pagi hari.

Air danau diselimuti warna hijau lembut, gugusan batu karang yang ditumbuhi pepohonan bak pulau-pulau kecil yang tersebar di tengah danau dan jernihnya air yang membuat dasar danau terlihat dari permukaan begit memanjakan mata siapa saja yang melihatnya.

Napabale menyuguhkan dua pesona wisata alam sekaligus, yaitu danau dan pantai. Wisatawan dapat berenang atau menyusuri keindahan danau menggunakan perahu yang disewakan para nelayan. Jangan lupa untuk mencoba melintasi terowongan dan berlabuh di pantai yang bersebelahan dengan danau untuk bermain ombak atau sekedar bersantai di tepi pantai.

Menurut cerita rakyat, pada abad 15 pernah ditemukan seorang gadis cantik yang tak diketahui asal-usulnya terdampar di dalam terowongan. Penemuan tersebut dilaporkan masyarakat kepada raja Kerajaan Muna. Kecantikan paras gadis tersebut membuat raja jatuh hati dan meminangnya menjadi permaisuri.

Tak sulit untuk mencapai Danau Napabale. Perjalanan dapat dilakukan menggunakan taksi atau ojek dengan waktu tempuh sekitar 20 menit ke arah selatan Kota Raha yang hanya berjarak 15 kilometer. Selain itu, dapat juga dicapai menggunakan ketinting dari Pelabuhan Raha dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.

Jika ingin bermalam, para wisatawan harus membawa perlengkapan berkemah serta pelengkapan masak karena belum ada fasilitas penginapan baik hotel, losmen, maupun homestay di Napabale. Alternaif lain, wisatawan dapat menginap di Kota Raha yang banyak terdapat penginapan dengan tarif yang tidak menguras kantong.

Matahari hampir mencapai ubun-ubun di alun-alun Kota Raha. Dua ekor kuda jantan Gulu dan Kaboga bertarung sengit saling gigit dan menendang diselingi ringkikan kesakitan saat hantaman lawan mendarat di wajah.

Pertarungan bukan berlangsung di atas ring, melainkan di lapangan terbuka yang cukup luas mengingat kuda-kuda tersebut membutuhkan banyak ruang gerak untuk mengejar dan menjatuhkan lawan.

Para penonton nampak tegang menyaksikan laga sambil sesekali merekam pertarungan menggunakan telepon genggam. Beberapa penonton berlarian saat kuda yang tengah berkelahi beranjak ke dekat mereka. Tidak sedikit pula penonton yang memilih menyaksikan pertandingan dari atas pohon agar mendapat pemandangan yang bagus dan terhindar dari amukan kuda yang salah sasaran.

Gulu dan Kaboga bukanlah kuda laga. Mereka juga bukan kuda balap yang posturnya tinggi tegap dan berotot . Mereka hanyalah kuda-kuda biasa yang digunakan dalam keseharian masyarakat Raha.

Mengawali pertarungan, dua pejantan yang kebetulan bapak dan anak tersebut disandingkan berdekatan dengan dua kuda betina. Dimulai dengan adu ringkikan, sesaat kemudian adu jotos pun pecah.

“Ya…gak binatang, gak manusia, kalo sudah masalah perempuan pasti berkelahi,” ungkap Ode Halili, pemilik salah satu kuda sambil tertawa.

Tradisi adu kuda merupakan tradisi yang sudah lama ada di Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Dahulu kala, adu kuda yang dalam bahasa Raha disebut Pagiraghono Adora ini dihelat hanya saat pesta perayaan panen. Namun kini diselenggarakan untuk penyambutan tamu dan acara-acara tertentu.

Sejak lama kuda sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Raha. Salah satunya berfungsi sebagai alat angkut dan transportasi sebelum hadirnya kendaraan bermotor. Setiap hari kuda dengan setia mengantar para petani dari rumah hingga ke sawah atau kebun. Hingga tiba masa panen, kuda jualah yang mengangkut hasil-hasil panen tersebut ke lumbung.

Meski nyatanya kuda berjasa besar dalam membantu kehidupan masyarakat, dasar apa yang menjadikan masyarakat malah bersenang-senang merayakan perolehan hasil panen yang melimpah dengan mengadu kuda-kuda yang telah setia membantu mereka.

“Bukannya kami tidak tahu terima kasih dan tidak sayang kepada kuda-kuda yang telah membantu pekerjaan kami. Kami terpaksa mengesampingkan rasa sayang kami untuk sesaat agar pesta panen yang hanya dilaksanakan setahun sekali dapat berlangsung meriah.” Ujar Tiworo, pemilik kuda lain.

Seusai pertandingan, kuda yang terluka diobati dengan racikan khusus yang terbuat dari campuran arang baterai dan minyak tanah. Sesaat setelah racikan turun-temurun tersebut dioleskan pada kuda yang cidera, dalam hitungan menit luka-luka tersebut pun mengering. (Panca Syurkani/Win)

Sumber : Metrotvnews.com,
Share this article :

1 komentar: